BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penduduk
Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang
semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada
tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen
dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia
meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat di
seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh
penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4
persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara
konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia
berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada
tahun 1980 : 55.30 tahun, pada tahun 1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 :
61,12 tahun, dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun
(BPS.2000)
Dengan makin
meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan bahwa
insidensi penyakit degeneratif akan meningkat pula. Salah satu penyakit
degeneratif yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi adalah
hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih penting lagi mengingat
bahwa patogenesis, perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya tidak seluruhnya
sama dengan hipertensi pada usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan
bertambah tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah
diastolik akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus meningkat.
Penyakit
degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami peningkatan resiko penyebab
kematian, dimana pada tahun 1990, kematian penyakit tidak menular 48 % dari
seluruh kematian di dunia, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian di
dunia dan meningkat pada tahun 2000 kematian akibat penyakit tidak menular
yaitu 64 % dari seluruh kematian dimana 60% disebabkan karena penyakit jantung
dan pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan
kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian di
dunia dan sebanyak 66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal
ginjal dan stroke, dimana faktor resiko utama penyakit tersebut adalah
hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi
atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang
tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar The Silent Killer karena
hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi karena disamping karena prevalensinya
yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena
tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian
mendadak. Sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat
membebani perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan
membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup. (Bahrianwar, 2009)
Di Indonesia
dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di
Indonesia adalah 8.3% (pengkuran standart WHO yaitu pada batas tekanan darah
normal 160/90 mmHg). Pada tahun 2000 prevalensi penderita hipertensi di
indonesia mencapai 21% (pengukuran standart Depkes yaitu pada batas tekanan
darah normal 139 / 89 mmHg). Selanjutnya akan diestimasi akan meningkat menjadi
37 % pada tahun 2015 dan menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab
hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus. Bentuk hipertensi idiopatik
disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti tampaknya sangat
kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel, mungkin pula ada predisposisi
genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan – perubahan
berikut: (1). Eksresi natrium dan air oleh ginjal, (2). Kepekaan baroreseptor,
(3). Respon vesikuler, dan (4). Sekresi renin. Sedangkan 5% penyakit hipertensi
terjadi sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkhim ginjal
atau aldosterronisme primer (Prince, 2005).
Beberapa
organisasi dunia dan regional telah memproduksi, bahkan memperbaharui pedoman
penanggulangan hipertensi. Dari berbagai strategi dapat disimpulkan bahwa
penanggulangan hipertensi melibatkan banyak disiplin ilmu. Kunci pencegahan
atau penanggulangan perorangan adalah gaya hidup sehat. Masyarakat juga perlu
tahu risiko hipertensi agar dapat saling mendukung untuk mencegah atau
menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan sampai
mencegah terjadinya komplikasi. (Bahrianwar,2009).
Di
Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI memberi apresiasi dan
perhatian serius dalam pengendalian penyakit Hipertensi. Sejak tahun 2006
Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular
yang bertugas untuk melaksanakan pengendalian penyakit jantung dan pembuluh
darah termasuk hipertensi dan penyakit degenaritaif linnya, serta gangguan
akibat kecelakaan dan cedera. (Depkes, 2007).
Untuk
mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan beberapa langkah, yaitu
mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan Juknis pengendalian hipertensi;
melaksanakan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan intensifikasi, akselerasi,
dan inovasi program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah
setempat (local area specific); mengembangkan (investasi) sumber daya
manusia dalam pengendalian hipertensi; memperkuat jaringan kerja pengendalian
hipertensi, antara lain dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian
Hipertensi; memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan
surveilans epidemiologi dan sistem informasi pengendalian hipertensi;
melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan mengembangkan sistem pembiayaan
pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia
lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan komplikasi, pengenalan
berbagai penyakit yang juga diderita oleh orang tersebut perlu mendapatkan
perhatian oleh karena berhubungan erat dengan penatalaksanaan secara
keseluruhan. Dahulu hipertensi pada lanjut usia dianggap tidak selalu perlu
diobati, bahkan dianggap berbahaya untuk diturunkan. Memang teori ini didukung
oleh observasi yang menunjukkan turunnya tekanan darah sering kali diikuti pada
jangka pendeknya oleh perburukan serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi
akhir-akhir ini dari penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat
antihipertensi pada lanjut usia menunjukan bahwa hipertensi pada lansia
merupakan risiko yang paling penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler,
strok dan penyakit ginjal. Banyak data akhir-akhir ini menunjukan bahwa
pengobatan hipertensi pada lanjut usia dapat mengurangi mortalitas dan
morbiditas.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa itu hipertensi pada lansia?
1.2.2
Apa saja klasifikasi hipertensi pada lansia?
1.2.3
Bagaimana etiologi hipertensi pada lansia?
1.2.4
Seperti apa patofisiologi hipertensi pada lansia?
1.2.5
Bagaimana Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia?
1.2.6
Apa saja pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia?
1.2.7
Apa saja komplikasi hipertensi pada lansia?
1.2.8
Bagaimana penatalaksanaan hipertensi pada lansia?
1.2.9
Bagaimana Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Agar
pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit hipertensi pada lansia.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian
hipertensi pada lansia.
1.3.2.2
Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.3
Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.4
Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.5
Untuk mengetahui Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia.
1.3.2.6
Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia.
1.3.2.7
Untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.8
Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada lansia.
1.3.2.9
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia.
1.4 Manfaat
Tulisan
ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Hipertensi pada lansia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Hipertensi Pada Lansia
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan
darah diastolik dan sistolik yang intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
(Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau
diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner &
Suddarth, 1996)
2.2. Klasifikasi Hipertensi
Pada Lansia
2.2.1. Berdasarkan
etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi
primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini
adalah yang terbanyak, yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat
keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor
pendukung. Walaupun faktor genetik sepertinya sangat berhubungan
dengan hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.
2. Hipertensi
sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau
penyebab yang terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi
renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan
obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.
2.2.2.
Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7
Kategori
|
Sistolik (mmHg)
|
Diastolik
(mmHg)
|
Optimal
Normal
|
115
atau kurang
< 120
|
75
atau kurang
< 80
|
Prehipertensi
|
120-139
|
80-89
|
Hipertensi
stage I
|
140-159
|
90-99
|
Hipertensi
stage II
|
≥ 160
|
≥ 100
|
Berdasarkan
klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan:
·
Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada
6-12% penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden
meningkat seiring bertambahnya umur.
·
Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara
12-14% penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi
menurun seiring bertambahnya umur.
·
Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60th,
lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.
2.3. Etiologi Hipertensi Pada
Lansia
Dengan perubahan
fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi diabetes ras
riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan garam
yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang
mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain:
a.
Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko
yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik kromosomal), umur
(pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria atau wanita
pasca menopause.
a.
Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama
dengan wanita.Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum
menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara
alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih
dari setengah penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar
56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa
muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60%
penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
hormon setelah menopause.
b.
Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi
tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah
yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut
harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan
hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar
tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia
lanjut. hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55
tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah
menopause. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan
usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri
utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan
mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu
kehilangan daya penyesuaian diri.
c.
Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu
akanmenyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio
antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya
adalah penderita hipertensi.
b.
Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1.
Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan
kalori mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu
sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia.
Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis,
jantung dan pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi
langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan
sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
2.
Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan
pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas
fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk
menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung
lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula
kekuaan yang mendesak arteri.
3.
Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah.
Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna
dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
4.
Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health
Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat
mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan
adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam)
perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler
ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya
volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.
5.
Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol
dapat merusak jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan
minum alkohol berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
6.
Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu
cangkir kopi mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut
berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
7.
Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga
melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah
secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti
akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang
dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009)
mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah
jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini
dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik
personal.
2.5 Tanda Dan Gejala
Hipertensi Pada Lansia
Seperti
penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious)
atau tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas,
kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Hipertensi Pada Lansia
a.
Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume
cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
b.
BUN :
memberikan informasi tentang perfusi ginjal
c.
Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi)
dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d.
Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
e.
Kalsium serum
Peningkatan
kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
f.
Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk /
adanya pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
g.
Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan
hipertensi.
h.
Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
i.
Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan
atau adanya diabetes.
j.
Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko
hipertensi.
k.
Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
l.
IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit
parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
m.
Foto dada
Menunjukkan
obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
n.
CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
o.
EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan,
gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit
jantung hipertensi.
2.7 Komplikasi
Hipertensi Pada Lansia
Pasien dengan
hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering kematian adalah
penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering ditemukan, dan
sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem
Kardiovaskuler
Kompensasi
akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan sistemik adalah
hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding
ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya membesar
dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat
timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara penutupan
aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi
jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada penyakit jantung
hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama
gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan
tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi
iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh
infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa
kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh aldosteron pada asupan
garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan darah
atau kadar angiotensin II.
b.
Efek Neurologik
Efek neurologik
pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina dan sistem saraf
pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri dan arteriol
yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan optalmoskopik berulang
memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada pembuluh darah
retina.
Efek pada sistem
saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit kepala di daerah
oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang merupakan salah satu dari
gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa
ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi manifestasi
yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati.
Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri terjadi
secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien hipertensi,
dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan darah dan
perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard).
Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan
mikroaneurisma.
Ensefalopati
hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan kesadaran,
peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan kejang.
Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme
arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan
jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient
ischemic attack.
Hipertensi atau
tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa retinopati
hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat pada retina,
edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat berupa
penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena
crossing atau sklerosis pembuluh darah.
c.
Efek pada Ginjal
Lesi
aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus adalah
lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada
hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan
metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini.
2.8 Penatalaksanaan
Hipertensi Pada Lansia
Lebih dari 10
tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya pengobatan
hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang kontra menyatakan bahwa penurunan
tekanan darah pada hipertensi lansia justru akan menyebabkan kemungkinan
terjadinya trombosis koroner, hipotensi postural dan penurunan kualitas hidup.
Dengan penelitian-penelitian yang diadakan dalam 10 tahun terakhir ini jelas
dibuktikan bahwa menurunkan tekanan darah pada hipertensi lansia jelas akan
menurunkan komplikasi akibat hipertensi secara bermakna.
Tujuan
penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita
hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan
diastol saat target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya
adalah mencapai target tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol
< 140 / 90 mmHg berhubungan dengan penurunan terjadinya komplikasi stroke,
dan pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus, target tekanan darah ialah
< 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan
hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1.
Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.
2.
Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3.
Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi.
4.
Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin seumur
hidup.
5.
Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi
dasar pengobatan hipertensi.
Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan
kemungkinan adanya :
a.
Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b.
Interaksi obat
c.
Efek samping obat.
d. Gangguan
akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.
Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi
menyeluruh terhadap kondisi penderita adalah :
a.
Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.
b.
Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c.
Organ yang rusak karena hipertensi.
Secara garis
besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat
antihipertensi, yaitu:
1.
Mempunyai efektivitas yang tinggi
2.
Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3.
Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4.
Tidak menimbulkan intoleransi
5.
Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6.
Memungkinkan
penggunaan obat dalam jangka panjang
Tidak jarang
penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat antihipertensi
mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di
bawah ini :
1.
Ketidakpatuhan penderita
2.
Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan ginjal,
dan kurangnya pemberian diuretik
3.
Obesitas
4.
Dosis yang tidak adekuat
5.
Interaksi obat
6.
Kontrasepsi oral
7.
Penggunaan obat-obat steroid
8.
Hipertensi sekunder
Klasifikasi dan
Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *
BP
Classification
|
SBP (mmHg)
*
|
DBP (mmHg)
*
|
Lifestyle
Modification
|
Initial
Drug Therapy
|
|
Without
Compelling Indication
|
With
Compelling Indication
|
||||
Normal
|
< 120
|
and <
80
|
Encourage
|
||
Prehypertension
|
120-139
|
or 80-89
|
Yes
|
No
antihypertensive indicated
|
Drug(s)
for compelling indications. ‡
|
Stage I
Hypertension
|
140-159
|
or 90-99
|
Yes
|
Thiazide-type
diuretics for most. May consider ACEI , ARB, BB , CCB or combination.
|
Drug(s)
for the compelling indications. ‡
Other
antihypertensive drugs (diuretics, ACEI, ARB, BB, CCB) as needed.
|
Stage II
Hypertension
|
≥ 160
|
≥ 100
|
Yes
|
Two-drug
combination for most † (usually thiazide-type diuretic and ACEI or
ARB or BB or CCB)
|
SBP :
Systolic Blood Pressure
DBP :
Diastolic Blood Pressure.
Drug
abbreviations : BP :
ACEI :
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB :
Angiotensin Receptor Blocker
CCB :
Calsium Channel Bloker.
BB :
Beta-Bloker
* Treatment
determined by highest BP category.
† Initial
combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic
hypotension.
‡ Treat
patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80 mmHg
2.8.1 Konsep
Penatalaksanaan Hipertensi Terkini
Joint
National Committee VII merekomendasikan konsep terapi
yang terbaru yaitu :
a.
Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah diastolic
80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan nonfarmakologis dengan cara
modifikasi gaya hidup.
b.
Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan penatalaksanaan
secara farmakologis dengan diberikan obat golongan diuretik atau bisa juga
diberikan obat dari golongan lain.
c.
Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus dimulai jika
tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah diastoliknya tidak.
d.
Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi antihipertensi,
salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.
e.
Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk mencapai
tekanan darah ± 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang diinginkan.
f.
Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic
masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan hipertensi yang
sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.
Bila hipertensi
yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit penyerta lain, maka
pengobatan adalah mudah. Penatalaksanaan untuk hipertensi
dibagi menjadi :
1. Non
Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
2.
Farmakologis
A. Non
farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :
Kriteria Indeks Massa Tubuh
Kriteria
|
IMT (kg/m2)
|
Kurang
|
<18,5
|
Normal
|
18,5-24,9
|
Berat badan
lebih
|
25,0-29,9
|
Obesitas
|
30,0-34,9
|
Obesitas
berat
|
≥ 35,0
|
· Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan
bila IMT ≥ 27
· Membatasi alkohol.
· Olahraga teratur sesuai dengan kondisi
tubuh.
·
Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)
· Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari),
kalsium dan magnesium yang adekuat.
· Berhenti merokok.
· Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol
dalam makanan.
Modifikasi Gaya
Hidup Penatalaksanaan Hipertensi *†
Modification
|
Recommendation
|
Approximate
SBP Reduction (Range)
|
Weight
reduction
|
Maintain
normal body weight (BMI 18,5 – 24,9 kg/m2)
|
5-20 mmHg
/ 10 kg weight loss
|
Adopt DASH
eating plan
|
Consume a
diet rich in fruits, vegetables and low fat dairy products with a reduced
content of saturated and total fat
|
8-14 mmHg
|
Dietary
sodium reduction
|
Reduced
dietary sodium intake to no more than 100 mmol per day (2,4 g sodium or 6 g
sodium chloride)
|
2-8 mmHg
|
Physical
activity
|
Engage in
regular aerobic physical activity such as brisk walking (at least 30 min per
day, most days of the week)
|
4-9 mmHg
|
Moderation
of alcohol consumption
|
Limit
consumption to no more than 2 drinks (1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24 oz beer,
10 oz wine, or 3 oz 80-proof whiskey) per day in most men and to no more thsn
1 drink per day in women and lighter weight persons
|
2-4 mmHg
|
DASH,
Dietary Approaches to Stop Hypertension
* For
overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.
† The
effects of implementing these modifications are dose and time dependent, and
could be greater for some individuals.
B.
Farmakologis :
Obat-obat
Antihipertensi :
1.
Diuretik
§ Cara kerja : meningkatkan ekskresi
natrium, klorida dan air sehingga volume plasma dan cairan ekstrasel.
§ Untuk terapi
jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi perifer.
§ Terdapat beberapa
golongan, yaitu :
a.
Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :
-
Hidroklorotiazid (HCT) – tab 25 dan 50 mg
-
Klortalidonn – tab 50 mg
-
Bendroflumentiazid – tab 5 mg
-
Indapamid – tab 2,5 mg
-
Xipamid – tab 20 mg
b.
Diuretik kuat :
a.
Furosemid – tab 40 mg
c.
Diuretik hemat kalium :
a.
Amilorid – tab 5 mg
b.
Spironolakton – tab 25 dan 100 mg
§ Efek samping : hipotensi dan
hipokalemia.
2.
Penghambat Adrenergik
§ Efektif untuk menurunkan denyut
jantung dan curah jantung, serta menurunkan sekresi renin
§ Kontraindikasi bagi pasien gagal
jantung kongestif
§ Terdiri dari
golongan :
-
penghambat adrenoreseptor α / α –bloker :
terazosin, doxazosin, prazosin
-
penghambat adrenoreseptor β / β-bloker :
propanolol, asebutolol, atenolol, bisoprolol
-
penghambat adrenoreseptor α dan β :
labetalol
-
adrenolitik sentral : klonidin, metildopa,
reserpin, guanfasin
3.
Vasodilator
§ Bekerja langsung
pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang akan mengakibatkan
penurunan resistensi pembuluh darah
§ Yang termasuk
golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin, doksazosin, prazosin,
minoksidil, diaksozid.
§ Yang paling sering digunakan adalah
natrium nitroprusid dengan efek samping hipotensi ortostatik.
4.
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin
§ Bekerja menghambat sistem
renin-angiotensin, menstimulasi sintesis prostaglandin dan juga mengurangi
aktivitas saraf simpatis
§ Preparat yang
paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam sebelum makan. Pada gagal
ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).
§ Efek samping :
batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria, gagal ginjal dan
agranulositosis.
5.
Antagonis Kalsium
§ Mempunyai efek
mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan vasodilatasi perifer yang
berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang nyata dan retensi cairan yang
kurang daripada vasodilator lainnya.
§ Preparat yang
biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin, amilodipin, verapamil
dan diltiazem.
6.
Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)
§ Merupakan
golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi produksi Angiotensin
II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.
§ Kelebihannya adalah tidak menimbulkan
batuk karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin.
§ Proses apoptosis dan regenerasi
jaringan juga tetap berlangsung karena reseptor tidak dipengaruhi.
Prinsip
pemberian obat anti hipertensi pada lansia :
§ Dimulai dengan 1 macam obat
dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
§ Penurunan tekanan darah
sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan
perfusi ke organ vital.
§ Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali
sehari
§ Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
§ Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi
efektivitas pengobatan
§ Setelah tercapai target maka pemberian obat harus
disesuaikan kembali untuk maintenance (Gambar 2)
Pengobatan
harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat kelainan
target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat gangguan
metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih rendah.
Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5 – 25
mg atau setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi
sebagai pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas
indikasi spesifik.
Pada pasien
dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik merupakan obat pilihan
pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering menimbulkan efek hipokalemia
dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut terbuang bersama urine.
Pada pasien
pascainfark miokard, pemakaian penyebat β yang kardioselektif dianjurkan. Akan
tetapi pada umumnya pemakaian penyekat β tidak begitu disukai oleh karena
menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik. Penghambat
α merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi prostat,
akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini
dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.
Antagonis
kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai efek
natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada
pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat
ACE.
Obat
simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun
efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping
sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai
pengaruh pada susunan saraf pusat, α dan ß bloker
dapat mengakibatkan depresi serta penurunan kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian
antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
§ Penurunan refleks baroreseptor sehingga
meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
§ Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia
serebral mudah terjadi dengan hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
§ Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi
akumulasi obat.
§ Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif
terhadap deplesi cairan.
§ Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah
terjadi aritmia dan kelemahan otot.
§ Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai
penyakit komorbid yang ada pada lansia itu. Jangan sampai obat
antihipertensif yang kita beri mempunyai efek samping yang dapat memperberat
gejala penyakit komorbid.
Berdasarkan
hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya
dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan
perlahan-lahan dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan
dosis yang lebih kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada
penderita yang lebih muda, dan pilihan antihipertensi harus secara individual,
berdasarkan pada kondisi penyerta.
Tahap-tahap
yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1.
Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau
perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2.
Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya hipertensi dan
makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3.
Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4.
Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
5.
Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah pasien
hipertensi.
6.
Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang
dapat dimakan sekali sehari.
Terapi
Kombinasi
Biasanya bila
terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran, maka perlu
ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak meningkatkan dosis
obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek penurunan
tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian HOT,
terapi kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII,
para ahli bahkan menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada
penderita yang ada pada stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak
disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis secara individual dianggap
lebih baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut oleh para ahli
hipertensi di Inggris yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension
Square.
2.9 Asuhan Keperawatan
Hipertensi Pada Lansia
No
|
DIAGNOSA
|
NOC
|
NIC
|
RASIONAL
|
1
|
Gangguan
rasa nyaman nyeri b.d peningkatan tekanan intra kranial
|
Tujuan:
Menghilangkan rasa nyeri
Kriteria
hasil :
·
Melaporkan ketidakyamanan hilang atau terkontrol.
·
Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
|
Intervensi
:
·
Pertahankan tirah baring selama fase akut.
·
Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya
kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.
·
Hilangkan/ minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit
kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.
·
Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
·
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas,
diazepam dll.
|
·
Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.
· Tindakan yang menurunkan
tekanan vaskuler serebral,efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan
komplikasinya.
·
Aktifitas yang meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala pada
adanya peningkatan vaskuler serebral.
·
Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang
memperberat kondisi klien.
·
Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis.
|
2
|
pemenuhan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi inadekuat
|
Tujuan:
kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria
hasil:
·
Klien menunjukkan peningkatan berat badan
·
Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal
|
Intervensi:
·
Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai
indikasi.
·
Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
·
Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan dan
dimanamakan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan.
·
Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan kejenuhan
lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol
(daging berlemak, kuning telur, produk kalengan, jeroan).
·
Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
|
·
Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya atero sklerosis, kelebihan
masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak
ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.
·
Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir.
·
Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi
emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana
pasien telah/dapat mengontrol perubahan.
·
Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah
perkembangan atero genesis.
·
Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual
|
3
|
Intoleransi
aktifitas b.d kelemahan umum.
|
Tujuan :
tidak terjadi Intoleransi aktifitas.
Kriteria
Hasil :
·
Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan
·
Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
|
Intervensi
:
·
Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter :
frekwensi nadi 20x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD,
dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing
atau pingsan.
·
Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan
kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada
aktivitas dan perawatan diri.
·
Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
·
Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi,
menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
·
Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
|
·
Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan
indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.
·
Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat
aktivitas individual.
·
Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan
jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan
tiba-tiba pada kerja jantung.
·
Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
·
Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah
kelemahan.
|
4
|
Resiko
tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh
darah.
|
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria
Hasil :
·
Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban
kerja jantung
·
Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima,
·
Memperlihatkan normal dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal
pasien.
|
Intervensi:
·
Observasi tekanan darah.
·
Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
·
Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.
·
Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
·
Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan
ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.
·
Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.
·
Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik.
|
·
Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap
tentang keterlibatan vaskuler.
·
Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat
palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari
vasokontriksi dan kongesti vena.
·
ICS4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi
atrium, perkembangan ICS3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan
fungsi, adanya krakels, mengidapat mengindikasikan kongesti paru sekunder
terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik.
·
Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat
mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung.
·
Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi.
·
Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek
tenang,sehingga akan menurunkan tekanan darah.
·
Menurunkan tekanan darah.
|
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia,
kejadian hipertensi pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah sudah terbukti meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik hipertensi pada usia lanjut
adalah terdapatnya berbagai penyakit penyerta (komorbid) dan komplikasi organ
target, seperti kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal, gangguan pada sistem
saraf pusat dan mata. Dengan menurunkan tekanan darah sampai target 140/90 mmHg
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana
hipertensi pada usia lanjut harus juga memperhatikan kedua hal tersebut di
atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia tidak berbeda dengan
penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola hidup dan
pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti
hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa
disesuaikan dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi
tersebut.
sumber: blog campur aduk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar